Saya ingin sekali menungkatkan produktifitas lele sangkuraing ke tahapan selanjutnya. namun berdasarkan pengalaman, peningkatan produksi bisa dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah memperbanyak kolam, atau meninggikan jumlah padat tebar.
Saya rasa sangat menarik menggunakan metode yang ke 2 yakni meningkatkan padat tebar. karena jika harus memperbanyak kolam, tentu diperlukan dana investasi yang tidak sedikit. Nah salah satu teknik yang bisa digunakan menurut para master adalah mengggunakan teknik pembesaran bioflok. Namun Sumber ilmunya sangat jarang bahkan bisa dibilang langka.
Namun saya mendapat beberapa artikel menarik tentang bioflok, seperti yang diutarakan oleh Noer Rachman Hamidi dari agribisnis-indonesia.com, berikut ulasannya:
Berbekal bimbingan praktisi bioflok di tambak udang, Amir dan komunitasnya mengadopsi sistem ini pada budidaya lele. Konversi pakan atau FCR bisa mencapai 0,8 hingga 0,7.
Kian sulitnya sumber air di wilayah Pekalongan Jawa Tengah, banyak kolam lele yang berhenti beroperasi. Saat musim kemarau, banyak pembudidaya yang kesulitan sumber air. “Misalkan, ada yang memakai pompa untuk menyedot sumber air, hanya setiap 2 – 5 menit air berhenti mengalir,” ujar pembudidaya lele asal Pekalongan, Muhammad Amir yang tergabung di Forum Komunikasi Mina Pantura (FKMP).
Kian sulitnya sumber air di wilayah Pekalongan Jawa Tengah, banyak kolam lele yang berhenti beroperasi. Saat musim kemarau, banyak pembudidaya yang kesulitan sumber air. “Misalkan, ada yang memakai pompa untuk menyedot sumber air, hanya setiap 2 – 5 menit air berhenti mengalir,” ujar pembudidaya lele asal Pekalongan, Muhammad Amir yang tergabung di Forum Komunikasi Mina Pantura (FKMP).
Penerapan Bioflok pada Budidaya Lele
Mengatasi hal ini, salah satu caranya meminimalkan penggantian air. Amir dan pembudidaya lain menerapkan puasa pakan pelet seminggu sekali. “Harapannya, seperti manusia, ada proses detoksifikasi, peluruhan protein cacat, hingga pembaruan sel organ pencernaan, selain mengurangi limbah yang dihasilkan dari pakan dan kotoran lele,” tutur pria berusia 38 tahun ini.
Amir mengungkapkan, pembudidaya berusaha berinovasi sistem lain. Ditambah informasi yang dibagikan praktisi bioflok udang, salah satunya Suprapto yang berdomisili di Pacitan, Amir bersama pembudidaya di daerahnya mencoba sistem bioflok pada budidaya lele. Dengan bantuan dan bimbingan Suprapto, para pembudidaya mulai mencoba sistem ini sejak 2010.
Hasilnya, setelah 2 tahun percobaan, FCR (Feed Convertion Ratio) atau konversi pakan menjadi lebih bagus, sehingga sistem ini dikembangkan. Yakni, rata-rata FCR bisa mencapai 0,8 hingga 0,7. Artinya, untuk 1 kg daging hanya membutuhkan 0,7 – 0,8 kg pakan. Beda dengan sistem konvensional dengan rata-rata FCR 1,1 hingga 1,2.
Pengaruhnya, efisiensi pakan dengan pertumbuhan cepat juga mempengaruhi pemberian pakan. “Contohnya, efisiensi pakan dimulai dari pemberian pakan, kita cuma 2 kali sehari. Sedangkan yang konvensional bisa mencapai 3 – 4 kali sehari,” tukas Amir.
Selain itu, lanjut Amir, dengan efisiensi pakan ini, pertumbuhan lele menjadi lebih cepat dan dari segi rasa juga berbeda. “Kita melihat empedu menjadi lebih bening, lever menjadi lebih besar, dagingnya memiliki lemak yang lebih sedikit. Warna daging lebih putih, tekstur pun menjadi lebih jelas dan rasa lebih gurih,” tambahnya.
Proses
Amir lalu merunutkan, dulunya proses yang dia jalankan berlangsung bertahap. Awalnya dia mencoba dulu di kolam sendiri. “Bentuk kolam persegi dengan ukuran 3x4x5m. Kita coba mulai dari kepadatan 500 ekor per m2, lalu 650 ekor per m2, dan sekarang 800 ekor per m2,” tambah Amir yang mengaku sudah memiliki kurang lebih 30 kolam.
Prinsip bioflok ini, yakni memanajemen air dengan intervensi bakteri, terutama dengan mengakali rasio keseimbangan unsur C (Carbon) dan N (Nitrogen), sehingga meminimalisir penggantian air di kolam. “Cara menjaga keseimbangan rasio itu dikonsepkan secara bertahap, yaitu mulai dari mengurangi limbah beracun (amonia, nitrit, H2S) dengan memanfaatkan mikroorganisme (bakteri dan yeast), hingga mendaur ulang Nitrogen anorganik yang bersifat racun menjadi protein sel tunggal,” jelas Amir.
Amir mencontohkan limbah yang dimaksud berasal dari sisa pakan, kotoran ikan, hingga plankton/jasad yang mati. “Misalnya saja, dari pemakaian pakan, hanya 30% yang terserap oleh ikan, sisanya menjadi kotoran yang akan berperan membentuk amonia, hingga nitrit tadi,” tambahnya.
Ia menambahkan, dengan pemakaian bioflok, ada penambahan bakteri/probiotik yang mampu memanfaatkan NH3 dari amoniak dan NH4 dan diambil untuk dijadikan protein sel. “Protein sel ini nanti diikat oleh polimer yang dihasilkan bakteri lain. Dengan adanya protein yang terikat, bakteri akan mengumpul dan menarik konsumen di atasnya, seperti rotifera hingga cacing. Dari sini, selain mendaur ulang nitrogen anorganik, sekaligus menjadi pakan alami,” imbuhnya.
Persyaratan bioflok ini, Amir menuturkan, rasio C dan N haruslah imbang. Misalkan C per N di suatu kolam hasilnya di bawah 12, maka akan terjadi nitrifikasi sehingga yang bekerja bakteri nitrifikasi. “Misalkan rasionya di atas 12, barulah yang bekerja bakteri sintesa protein dari bioflok. Hasilnya pun menjadi sangat baik. Jadi tujuannya agar rasio C dan N harus di atas 12,” ungkapnya.
Bapak dua orang anak ini menjelaskan pula, untuk menjaga keseimbangan rasio C dan N harus ditambahkan karbohidrat sebagai sumber energi untuk merangsang perkembangan bakteri heterotrof, serta menyerap mineral dalam air (termasuk amonia) untuk disintesis menjadi protein. Kasarnya prosesnya seperti ini:C-ORGANIK + NH3 + O2 --> PROTEIN MIKROBA + CO2
Nah mudah-mudahan artikel ini bisa sedikit memberikan gambaran mengenai sistem bioflok
Amir mengungkapkan, pembudidaya berusaha berinovasi sistem lain. Ditambah informasi yang dibagikan praktisi bioflok udang, salah satunya Suprapto yang berdomisili di Pacitan, Amir bersama pembudidaya di daerahnya mencoba sistem bioflok pada budidaya lele. Dengan bantuan dan bimbingan Suprapto, para pembudidaya mulai mencoba sistem ini sejak 2010.
Hasilnya, setelah 2 tahun percobaan, FCR (Feed Convertion Ratio) atau konversi pakan menjadi lebih bagus, sehingga sistem ini dikembangkan. Yakni, rata-rata FCR bisa mencapai 0,8 hingga 0,7. Artinya, untuk 1 kg daging hanya membutuhkan 0,7 – 0,8 kg pakan. Beda dengan sistem konvensional dengan rata-rata FCR 1,1 hingga 1,2.
Pengaruhnya, efisiensi pakan dengan pertumbuhan cepat juga mempengaruhi pemberian pakan. “Contohnya, efisiensi pakan dimulai dari pemberian pakan, kita cuma 2 kali sehari. Sedangkan yang konvensional bisa mencapai 3 – 4 kali sehari,” tukas Amir.
Selain itu, lanjut Amir, dengan efisiensi pakan ini, pertumbuhan lele menjadi lebih cepat dan dari segi rasa juga berbeda. “Kita melihat empedu menjadi lebih bening, lever menjadi lebih besar, dagingnya memiliki lemak yang lebih sedikit. Warna daging lebih putih, tekstur pun menjadi lebih jelas dan rasa lebih gurih,” tambahnya.
Proses
Amir lalu merunutkan, dulunya proses yang dia jalankan berlangsung bertahap. Awalnya dia mencoba dulu di kolam sendiri. “Bentuk kolam persegi dengan ukuran 3x4x5m. Kita coba mulai dari kepadatan 500 ekor per m2, lalu 650 ekor per m2, dan sekarang 800 ekor per m2,” tambah Amir yang mengaku sudah memiliki kurang lebih 30 kolam.
Prinsip bioflok ini, yakni memanajemen air dengan intervensi bakteri, terutama dengan mengakali rasio keseimbangan unsur C (Carbon) dan N (Nitrogen), sehingga meminimalisir penggantian air di kolam. “Cara menjaga keseimbangan rasio itu dikonsepkan secara bertahap, yaitu mulai dari mengurangi limbah beracun (amonia, nitrit, H2S) dengan memanfaatkan mikroorganisme (bakteri dan yeast), hingga mendaur ulang Nitrogen anorganik yang bersifat racun menjadi protein sel tunggal,” jelas Amir.
Amir mencontohkan limbah yang dimaksud berasal dari sisa pakan, kotoran ikan, hingga plankton/jasad yang mati. “Misalnya saja, dari pemakaian pakan, hanya 30% yang terserap oleh ikan, sisanya menjadi kotoran yang akan berperan membentuk amonia, hingga nitrit tadi,” tambahnya.
Ia menambahkan, dengan pemakaian bioflok, ada penambahan bakteri/probiotik yang mampu memanfaatkan NH3 dari amoniak dan NH4 dan diambil untuk dijadikan protein sel. “Protein sel ini nanti diikat oleh polimer yang dihasilkan bakteri lain. Dengan adanya protein yang terikat, bakteri akan mengumpul dan menarik konsumen di atasnya, seperti rotifera hingga cacing. Dari sini, selain mendaur ulang nitrogen anorganik, sekaligus menjadi pakan alami,” imbuhnya.
Persyaratan bioflok ini, Amir menuturkan, rasio C dan N haruslah imbang. Misalkan C per N di suatu kolam hasilnya di bawah 12, maka akan terjadi nitrifikasi sehingga yang bekerja bakteri nitrifikasi. “Misalkan rasionya di atas 12, barulah yang bekerja bakteri sintesa protein dari bioflok. Hasilnya pun menjadi sangat baik. Jadi tujuannya agar rasio C dan N harus di atas 12,” ungkapnya.
Bapak dua orang anak ini menjelaskan pula, untuk menjaga keseimbangan rasio C dan N harus ditambahkan karbohidrat sebagai sumber energi untuk merangsang perkembangan bakteri heterotrof, serta menyerap mineral dalam air (termasuk amonia) untuk disintesis menjadi protein. Kasarnya prosesnya seperti ini:C-ORGANIK + NH3 + O2 --> PROTEIN MIKROBA + CO2
Nah mudah-mudahan artikel ini bisa sedikit memberikan gambaran mengenai sistem bioflok
Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini
Salam Patilers
0 comments:
Posting Komentar